Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu momen penting dalam demokrasi di Indonesia. Namun, belakangan ini Pilkada menjadi sorotan karena adanya wacana untuk memberikan kewenangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam menentukan siapa yang berhak maju sebagai calon kepala daerah.
Pro kontra terkait keputusan ini pun muncul. Sebagian pihak berpendapat bahwa memberikan kewenangan kepada DPRD bisa meminimalisir penyalahgunaan wewenang oleh calon kepala daerah yang sedang menjabat. Namun, di sisi lain, ada yang khawatir bahwa hal ini bisa menjadi potensi bagi korupsi dan politik transaksional.
Sebagai contoh, baru-baru ini terdengar kabar bahwa seorang eks bupati ditawari modal oleh sejumlah anggota DPRD agar bisa maju kembali dalam Pilkada. Hal ini tentu saja menimbulkan kontroversi dan menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana integritas dan independensi DPRD dalam memilih calon kepala daerah.
Menyikapi hal ini, Pakar dari Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Hafied Cangara, menegaskan bahwa keputusan terkait Pilkada seharusnya tetap dipegang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang memiliki tugas dan kewenangan untuk mengatur dan mengawasi jalannya Pilkada. Menurutnya, memberikan kewenangan kepada DPRD justru bisa menimbulkan konflik kepentingan dan memperlemah tata kelola demokrasi.
Selain itu, Prof. Hafied juga menegaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam Pilkada juga harus terus dijaga dan ditingkatkan. Masyarakat harus diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam proses politik dan memiliki hak untuk memilih calon kepala daerah yang dianggap paling layak dan bersih dari korupsi.
Dengan adanya pro kontra terkait Pilkada oleh DPRD, tentu saja dibutuhkan kajian mendalam dan diskusi yang melibatkan berbagai pihak terkait. Keputusan yang diambil haruslah yang terbaik untuk kepentingan masyarakat dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Semoga keputusan yang diambil nantinya dapat memberikan manfaat yang besar bagi bangsa dan negara.
Leave a Reply